Pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan kompotensi dalam belajar
mengajar (KBM) agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan. Pendidikan adalah hal mutlak
yang harus dimiliki oleh setiap individu, baik formal maupun pendidikan non
formal. Di sekolah guru merupakan orang tua bagi peserta didik, yang mempunyai
tanggung jawab akan kemajuan prestasi peserta didik.
Di Indonesia pendidikan formal merupakan salah satu wadah untuk menuntut
ilmu pengetahuan. Pendidikan merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk
mengembangkan sumber daya manusia sehingga mampu memenuhi tuntutan dan
kebutuhan pembangunan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokrasi serta bertangggung jawab.[1]
Sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang telah disebutkan di atas di dalamnya
terkandung salah satu usaha membina manusia agar bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sesuai dengan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, perlu adanya
perhatian yang serius agar tujuan pendidikan agama yang merupakan subsistem
dari pendidikan nasional dapat terealisasi dan ditinjau dari ajaran agama.
Pendidikan merupakan usaha yang lebih banyak ditekankan untuk mengembangkan
agar peserta didik lebih mampu memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Pola pembinaan pendidikan
dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga lingkungan yaitu
keluarga, sekolah dan masyrakat, sehingga ruang lingkup pembinaan yang
dilakukan oleh guru menjadi luas, tidak hanya sebagai profesi pembinaan di
sekolah tetapi bagaimana seorang guru tersebut bisa menjadi teladan hidup bagi
peserta didiknya.[2]
Dalam proses belajar, meningkatkan belajar sangat diperlukan sebab
seseorang yang tidak mempunyai semangat dalam belajar tidak akan mungkin
mempunyai prestasi belajar yang baik.[3] Proses
belajar peserta didik itu timbul dan berkembang terdapat dalam dua dasar utama
yakni yang pertama dengan intrinsik, yaitu mendorong prestasi belajar peserta
didik yang timbul dari diri individu sendiri tanpa ada paksaan dan dorongan
dari orang lain. Yang kedua ekstrinsik, yaitu dorongan yang timbul dari luar
diri individu atau dari orang lain.[4]
Pengajaran merupakan aktivitas
(proses) yang sistematis terdiri atas banyak komponen. Masing-masing komponen
pengajaran tidak bersifat parsial (terpisah) atau berjalan sendiri-sendiri,
tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung, komplementer dan
berkesinambungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu
pembelajaran tergantung kepada guru dan juga peserta didik. Guru memiliki peran
yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang
dilaksanakannya. Guru bertindak sebagai pengelola kelas, fasilitator yang
berusaha menciptakan kondisi belajar-mengajar yang efektif, untuk itu
diperlukan pengelolaan pengajaran yang baik dan harus dikembangkan berdasarkan
pada prinsip-prinsip pengajaran. Guru harus
mempertimbangkan strategi pengajaran yang
sistematis, bersifat konseptual tetapi praktis, realistik dan fleksibel.[5]
Dalam pendidikan, masalah yang sering muncul adalah kurangnya
tenaga pendidik yang profesional. Mengajar adalah mengorganisasikan hal–hal
yang berhubungan dengan belajar, dapat dilihat pada segala macam situasi
mengajar, yang baik maupun yang buruk. Mengajar dapat dipandang sebagai usaha
menciptakan situasi yang diharapkan agar anak dapat belajar dengan
efektif.
Para guru tentunya
menginginkan kelas dimana peserta didik-peserta didiknya mempunyai dorongan
intrinsik. Tetapi pada kenyataannya seringkali tidak demikian, karena itu guru
harus menghadapi tantangan untuk membangkitkan prestasi belajar peserta didik-peserta
didiknya dengan berbagai macam strategi yang tepat.[6]
Untuk mencapai tujuan
pendidikan diperlukan dukungan pendidikan yang tepat diharapkan dapat
memperlancar keberhasilan kegiatan belajar-mengajar, dimana proses pendidikan
diperlukan adanya interaksi aktif. Roestiyah, NK. menerangkan:
”Bila guru
memerlukan beberapa tujuan untuk dicapainya, maka ia perlu mengenal dan
menguasai dengan baik sifat-sifat dari setiap teknik penyajian sehingga ia
mampu pula mengkombinasikan penggunaan beberapa tujuan yang telah dirumuskan
itu dan tidak terasa kaku antara perubahan dari teknik yang satu kepada teknik
yang lain”.[7]
Peranan guru sangat
penting dalam mengelola dan menciptakan kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan teknik atau strategi pembelajaran yang tepat pula. Agar peserta
didik berminat memberikan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang diberikan
sehingga mencapai hasil yang optimal.
Suasana pembelajaran
aktif dapat memberikan atmosfer berbeda di dalam ruangan kelas. Sementara itu
pembelajaran pasif dapat menimbulkan suasana pembelajaran yang monoton dan
menjemukan, karena satu-satunya sumber pengetahuan di kelas adalah guru.
Suasana pembelajaran aktif memberikan nuansa semangat di dalam kelas, di mana
setiap murid merasa dirinya “berharga” dan setiap pendapat atau perbuatannya
layak mendapat apresiasi dari guru ataupun teman-temannya.[8]
Hal yang paling utama
yang menjadi pemicu keaktifan peserta didik di kelas adalah munculnya rasa
ingin tahu, ketertarikan dan minat peserta didik terhadap hal yang sedang
dipelajari. Untuk itu, melalui berbagai teknik dan metode, guru harus berusaha
sebisa mungkin untuk menciptakan suasana sedemikian rupa guna memicu rasa
penasaran peserta didik, sehingga aktif bertanya, mempertanyakan dan
mengemukakan gagasan.[9]
Peran aktif peserta
didik dalam pembelajaran sangatlah penting. Karena pada hakikatnya,
pembelajaran memang merupakan suatu proses aktif dari pembelajaran dalam
membangun pemikiran dan pengetahuannya. Peranan aktif peserta didik dalam
pembelajaran akan menjadi dasar dalam pembentukan generasi kreatif, yang
berkemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang hanya bermanfaat bagi dirinya
sendiri, tetapi juga bagi orang lain.[10]
Mengingat pentingnya
peranan suatu strategi dalam menciptakan pembelajaran aktif, maka seharusnya
dalam kegiatan belajar-mengajar, hendaklah memilih strategi yang tepat sesuai
dengan materi dan membuat peserta didik termotivasi untuk mengikuti
pembelajaran.
Peserta didik belajar
secara aktif ketika mereka terlibat secara terus-menerus, baik mental maupun
fisik. Pembelajaran aktif itu penuh semangat, hidup, giat berkesinambungan,
kuat, dan efektif. Pembelajaran aktif melibatkan pembelajaran yang terjadi
ketika peserta didik bersemangat, siap secara mental, dan bisa memahami
pengalaman yang dialami.[11]
Strategi pembelajaran
aktif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan pembelajaran aktif yang
didesain oleh guru untuk memberikan kesempatan peserta didik kreatif, inovatif,
aktif dalam memberikan feedback pembelajaran.[12]
Strategi ini juga mendorong peserta didik untuk menuangkan gagasan, ide, maupun
pendapatnya, baik kepada guru maupun temannya. Di sini, guru bukanlah
satu-satunya sumber belajar. Peserta didik dapat belajar dan menggali informasi
dari temannya maupun dari media yang digunakan, misalnya buku, internet, video,
dan lain-lain.
Sebagai seorang guru,
strategi pembelajaran aktif akan sangat membantu dalam melaksanakan tugas-tugas
keseharian. Bagi guru yang sibuk mengajar, strategi dapat dipakai dengan
variasi yang tidak membosankan. Filosofi mengajar yang baik adalah bukan
sekedar mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi bagaimana
membantu peserta didik supaya dapat belajar. Kalau dihayati, maka guru tidak
lagi menjadi pemeran sentral dalam proses pembelajaran.[13]
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematik untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta,
konsep-konsep, Prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan IPA
di MI bermanfaat bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam
sekitar. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung dan kegiatan
praktis untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk “mencari
tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berupaya
untuk membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan
pemahamannya mengenai alam sekitarnya. Mata pelajaran IPA adalah program untuk
menanamkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai ilmiah
pada peserta didik serta rasa mencintai dan menghargai kebesaran Sang Pencipta.
Belajar IPA merupakan proses aktif.
Belajar IPA merupakan sesuatu yang harus peserta didik lakukan, bukan sesuatu
yang dilakukan untuk peserta didik. Dalam belajar IPA, peserta didik mengamati
obyek dan peristiwa, mengajukan pertanyaan, memperoleh pengetahuan, menyusun
penjelasan tentang gejala alam, menguji penjelasan tersebut dengan cara-cara
yang berbeda, dan mengkomunikasikan gagasannya pada pihak lain.
Keaktifan secara fisik saja tidak cukup
untuk belajar IPA. Para ahli pendidikan dan pembelajaran IPA menyatakan bahwa
pembelajaran IPA seyogianya melibatkan peserta didik dalam berbagai ranah,
yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif[14].
Kegiatan belajar-mengajar tidak semua
peserta didik mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama, sebagaimana
yang telah peneliti lihat di tempat penelitian, sebagian peserta didik tidak
sepenuhnya memperhatikan pelajaran, wajah mereka menunjukkah kelesuan. Dengan
hal demikian perlu adanya strategi yang digunakan oleh guru agar semua peserta
didik aktif dalam pembelajaran tersebut sehingga tercapainya tujuan
pembelajaran.
[1]Syaiful
Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif, Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010) h. 376.
[2]Abu
Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu
Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1996), h. 20.
[3]Syaiful
Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional), h. 34.
[4]Chalijah
Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi
Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), h.145.
[5]Ahmad
Rohani, Pengelolaan Pengajaran,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 2
[6]Uzer
Usman, Menjadi Guru Profesional,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 21.
[7]Roestiyah,
NK, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1991) h. 3.
11Pat
Hollingsworth & Gina Lewis, Active Learning, Increasing Flow in the
Classroom, diterjemahkan oleh Dwi Wulandri dengan judul Pembelajaran Aktif. Meningkatkan Keasyikan Kegiatan di Kelas, (Jakarta:
PT. Indeks, 2008) h. viii.
[12]Zainal Arifin dan Adhi Setiyawan,
Pengembangan Pembelajaran Aktif dengan
ICT, (Yogyakarta: Skripta Media Creative, 2012), h. 58
[13]Hisyam Zaini dkk, Strategi Pembalajaran Aktif, (
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. xvii
[14]httptpardede.wikispaces.comfileviewipa_unit_1.pdf/senin/01/07/2013.
0 komentar:
Posting Komentar