Kata strategi berasal dari bahasa
Yunani yaitu “strategia” yang berarti
seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Dalam
pengertian umum strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau mencapai
tujuan[1].
Strategi pada dasarnya merupakan seni dan ilmu menggunakan kekuatan (ideology,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan) untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Dalam konteks pengajaran, strategi
dimaksudkan sebagai daya upaya guru dalam menciptakan suatu sistem lingkungan
yang memungkinkan terjadinya proses mengajar, agar tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan dapat tercapai dan berhasil guna[2].
Guru dituntut memiliki kemampuan
mengatur secara umum komponen-komponen pembelajaran sedemikian rupa, sehingga
terjalin keterkaitan fungsi antar komponen pembelajaran dimaksud. Strategi
berarti pilihan pola kegiatan belajar-mengajar yang diambil untuk mencapai
tujuan secara efektif.
Strategi pembelajaran dapat
diartikan sebagai segala kegiatan yang dipilih dapat memberikan fasilitas atau
bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran[3].
Pembelajaran aktif adalah belajar yang memperbanyak
aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai
sumber, untuk dibahas dalam proses pembelajaran dalam kelas, sehingga
memperoleh berbagai pengalaman yang tidak saja menambah pengetahuan, tapi juga
kemampuan analisis dan sintesis.
Menurut Hamdani, strategi pembelajaran aktif adalah
salah satu cara atau strategi belajar-mengajar yang menuntut keaktifan serta
partisipasi siswa dalam setiap kegiatan belajar seoptimal mungkin sehingga
siswa mampu mengubah tingkah lakunya secara efektif dan efesien.[4]
Dalam pembelajaran aktif, potensi yang ada pada
setiap peserta didik dilatih dan dikembangkan. Pembelajaran aktif merupakan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik di mana peserta didik dituntut
untuk terlibat baik fisik dan psikis untuk mengoptimalkan pengembangan
potensinya.
Belajar aktif menuntut peserta didik untuk
bersemangat, gesit, menyenangkan, dan penuh gairah, bahkan peserta didik sering
meninggalkan tempat duduk untuk bergerak leluasa dan berfikir keras. Selama
proses belajar peserta didik dapat beraktivitas, bergerak dan melakukan sesuatu
dengan aktif.
Keaktifan peserta didik tidak hanya keaktifan fisik
tapi juga keaktifan mental. Belajar aktif sebagai suatu pendekatan dalam
pembelajaran yang bermuara pada belajar mandiri, maka kegiatan belajar mengajar
yang dirancang harus mampu melibatkan peserta didik secara aktif. Peserta didik
dan guru dalam belajar aktif sama berperan untuk menciptakan suatu pengalaman
belajar yang bermakna.
Beberapa
penelitian membuktikan bahwa perhatian peserta didik berkurang bersamaan dengan
berlalunya waktu. Penelitian Pollio menunjukkan bahwa peserta didik dalam ruang
kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang
tersedia. Sementara penelitian McKeachie pada tahun 1986 menyebutkan bahwa
dalam sepuluh menit pertama perthatian peserta didik dapat mencapai 70%, dan
berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir[5].
Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di
lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam dunia
pendidikan kita, terutama disebabkan peserta didik di ruang kelas lebih banyak
menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga apa yang
dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan. Sebagaimana yang
diungkapkan Konfucius:
Apa yang saya dengar, saya lupa
Apa yang saya lihat, saya ingat
Apa yang saya lakukan, saya paham[6]
Ketiga
pernyataan ini menekankan pada pentingnya belajar aktif agar apa yang
dipelajari di bangku sekolah tidak menjadi suatu hal yang sia-sia. Ungkapan di
atas sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi dalam proses
pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan peserta didik terhadap materi
pembelajaran.
Mel
Silberman kemudian memodifikasi dan diperluas menjadi apa yang ia sebut paham
belajar aktif. Menurutnya:
Apa yang saya dengar, saya
lupa.
Apa yang saya dengar dan lihat,
saya ingat sedikit.
Apa
yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan, saya mulai paham.
Apa
yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan
dan keterampilan.
Apa
yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai[7].
Pernyataan Mel Silberman tersebut
tidak dapat dibantah karena memang dalam realitas diketahui bahwa adanya
perbedaan antara tingkat kecepatan berbicara guru dan tingkat kecepatan
kemampuan peserta didik mendengarkan.