IPA adalah
studi mengenai alam sekitar, dalam hal ini berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja,
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan dalam pembelajaran IPA.
Pembelajaran
IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri
dan alam sekitar. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompotensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat
sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang alam sekitar. Karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan
pembelajaran IPA adalah memadukan antara pengalaman proses IPA dan pemahaman
produk serta teknologi IPA dalam bentuk pengalaman langsung yang berdampak pada
sikap peserta didik yang mempelajari IPA.
1. Hakekat Ilmu Pengetahuan Alam
Pada hakekatnya, IPA dapat ditinjau dari tiga segi
yaitu dari produk, proses, dan pengembangan sikap.
a.
IPA sebagai
Produk
IPA sebagai produk merupakan hasil upaya
para perintis IPA terdahulu dan umumnya telah tersusun secara lengkap dan
sistematis dalam bentuk buku-buku teks dan film-film dokumen dalam bentuk CD
atau DVD yang kesemuanya dapat dianggap sebagai body of knowledge.
Di dalam pengajaran IPA guru dituntut
untuk dapat mengajak peserta didiknya memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber.
b.
IPA sebagai
Proses
IPA sebagai proses adalah proses
mendapatkan IPA yang disusun melalui metode ilmiah. Anak-anak usia MI, metode
ilmiah dikembangkan secara bertahap berkesinambungan, dengan harapan bahwa pada
akhirnya akan terbentuk paduan yang lebih utuh sehingga harapannya anak-anak MI
mampu melakukan penelitiah secara sederhana.
c.
IPA sebagai
Pemupuk Sikap.
Sikap ilmiah yang memungkinkan dapat
dikembangkan pada anak usia MI adalah:
·
Sikap
ingin tahu;
·
Sikap
ingin mendapatkan sesuatu yang baru;
·
Sikap
kerjasama;
·
Sikap
tidak putus asa;
·
Sikap
tidak berprasangka;
·
Sikap
mawas diri;
·
Sikap
bertanggung jawab;
·
Sikap
berpikir bebas; dan
·
Sikap
kedisiplinan diri.
Sikap ilmiah tersebut dapat dikembangkan tatkala
peserta didik melakukan diskusi, percobaan, simulasi, atau kegiatan observasi
lapangan.
2.
Pembelajaran IPA yang Konstruktif dalam Strategi
Pembelajaran Aktif
Constructivism ia theory that
assumes knowledge cannot exist outside the minds of thinking person. .Joseph Novak defenis constructivism
as the notion that humans construct or build meaning into their ideas and
experiences as a result of an effort to understand or to make sense of them[1].
Dalam paradigma konstruktivisme, peserta didik
diakui telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki sebelum mengikuti
proses kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya merupakan pengetahuan awal.
Pengetahuan awal ini diperoleh dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar
bangku sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya.
Peserta didik sendirilah yang membangun makna dan
pemahamannya tentang sesuatu dengan mengkombinasikannya apa yang telah ketahui
dan percayai dengan pengalaman baru yang mereka dapatkan.
Pengetahuan yang telah dimiliki mengarahkan
perhatiannya pada satu atau dua hal tertentu dari seluruh materi yang sedang
dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan peserta didik ini menjadi semacam
“penyaring” tentang hal-hal yang harus dipelajari. Selain sebagai penyaring,
pengetahuan yang telah dimiliki juga menentukan bangunan pengetahuan yang baru
dikonstruksi[2].
Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah
ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke
siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata.
Jadi dalam belajar IPA merupakan proses konstruktif yang menghendaki
partisipasi aktif dari siswa.
Realitas pembelajaran IPA yang konstruktif
dengan strategi pembelajaran aktif misalnya sebagai berikut. Ketika peserta
didik menerima penjelasan gurunya bahwa bunyi merambat dalam bentuk gelombang, peserta
didik itu membayangkan berbagai macam bunyi, berbagai jenis gelombang, dan juga
kata merambat. Hasil akhir konstruksi pengetahuan yang dibangun peserta didik
itu dapat berupa seng gelombang. Sudah barang tentu gambaran seperti ini sangat
berbeda dari gambaran yang diinginkan gurunya. Tugas guru adalah mengubah
gambaran seperti itu lewat kegiatan mengajar. Mengingat pengetahuan awal dan
pengalaman setiap peserta didik sangat
individual, maka pengetahuan yang baru dikonstruksikan masing-masing peserta
didik ada kemungkinan tidak sama satu dengan yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar