Kamis, 01 November 2012

CERITA RAKYAT DARI KALIMANTAN SELATAN


PANGERAN BIAWAK
(CERITA RAKYAT DARI KALIMANTAN SELATAN)
Dahulu di pedalaman Kalimantan ada sebuah kerajaan. Rakyat kerajaan itu hidup dengan kemakmuran yang melimpah, tentram dan damai karena kerajaan itu diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.
Raja mempunyai tujuh orang putri. Semuanya belum bersuami. Lalu raja mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membangun istana megah di seberang sungai maka merekalah yang akan beroleh kesempatan menjadi menantunya. Pengumuman pun disebar ke pelosok negeri. Hasilnya luar biasa. Ada enam orang pemuda yang menyanggupi permintaan raja. Keenam pemuda itu bekerja keras siang dan malam, hasilnya luar biasa. Dalam tempo yang tidak terlalu lama berdirilah sebuah istana yang megah di seberang sungai, lengkap dengan isinya dan tanah lapang yang mengelilinginya.
Karena istana tersebut berada di seberang sungai maka raja meminta supaya dibangun sebuah jembatan besar dan megah agar orang yang hendak menuju istana tidak usah menggunakan perahu. Cukup berjalan kaki saja. Dan pekerjaan membuat jembatan itu harus selesai dalam waktu satu malam.
Para petugas kerajaan diperintah menyebarkan sayembara itu ke seluruh pelosok kerajaan. Namun sungguh aneh sudah berhari-hari bahkan berminggu-minggu belum ada seorang pun yang menyatakan sanggup mengikuti sayembara itu.
Raja menjadi kecewa. Ia mengumpulkan para pejabat kerajaan. Berkatalah sang raja, “Apakah sudah habis orang sakti di kerajaan ini, sehingga tak ada yang berani mengikuti sayembara ini?”
Tiba-tiba entah darimana datangnya ada seorang nenek tua dan seekor biawak hadir di ruang persidangan.
“Hamba meminang putri paduka untuk anak hamba.”
“Apa?” teriak sang raja kaget.
“Benar paduka, biarpun kami berasal dari keluarga miskin kami sanggup mengikuti sayembara itu?” kata perempuan tua itu dengan mantap.
“Oh, ya tidak masalah.” Kata raja. “Sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Kaya miskin, tampan jelek tidak masalah, kami tidak memandang rupa.”
“Benarkah paduka tidak memandang rupa?”
“Benar ucapanku adalah jaminan. Pantang bagi raja menjilat ludah sendiri.” Sang raja menegaskan.” Tetapi perlu kau ingat, jika anakmu gagal maka kalian berdua akan mendpat hukuman pancung!”
“Nah, anakku, kau sudah mendengar sendiri perkataan paduka raja.” Ujar si nenek tua kepada sang biawak yang mengibas-ngibaskan ekornya.
Tak disangka biawak yang diajak bicara oleh si nenek tua bisa menjawab, “jangan kuatir ibu... saya sanggup menyelesaikan jembatan itu kurang dari satu malam.”
Semua orang yang berada di ruang persidangan menjadi kaget. Tidak disangka jika anak yang dimaksud perempuan tua itu tak lain adalah biawak yang dibawanya sendiri. Tadinya mereka menyangka anak perempuan tua itu tinggal di rumah.
Sebelum situasi berubah menjadi tidak menguntungkan maka si nenek tua tua cepat-cepat berkata, “Nah baginda sudah mendengar sendiri kesanggupan anak hamba. Sekarang hamba berdua mohon diri.”
Sepeninggal nenek tua dan biawaknya raja memanggil tujuh putrinya untuk diajak bermusyawarah. Masing-masing ditanya siapakah yang bersedia dipinang oleh si biawak. Enam putri menolak mentah-mentah. Tinggal seorang yang belum menjawab yaitu si putri bungsu.
Kini sang ibu (permaisuri) meminta ketegasan si putri bungsu. “Bagaimana menurut pendapatmu, nak?”
“Ucapan raja pantang ditarik kembali. Demi kehormatan ayahanda selaku raja negeri ini, saya sanggup menerima pinangan biawak itu.”
Permaisuri langsung jatuh pingsan mendengar jawaban putrinya yang diucapkan dengan mantab dan tegas. Sementara keenam saudaranya merasa terheran-heran.
Esok harinya semua orang terkejut. Ternyata sang biawak menepati janjinya. Ia mampu membuatkan jembatan hanya dalam tempo kurang dari satu malam.
Raja menepati janjinya pula, tujuh orang putrinya yang cantik-cantik itu disandingkan di pelaminan. Keenam pasangan pengantin baru itu semuanya Nampak serasi. Hanya satu yang aneh, yaitu putri bungsu yang berwajah paling cantik itu justru bersanding dengan seekor biawak.
Saat malam tiba, di peraduan keenam mempelai sama bercanda dengan pasangan masing-masing. Namun di kamar putri bungsu tidak terdengar canda ria. Ketika malam semakin larut putri bungsu semakin mengantuk, biawak yang menjadi suaminya ditinggal begitu saja di sudut kamar. Ia segera tertidur pulas. Namun ditengah malam ketika ia terjaga, ia kaget bukan kepalang. Di sampingnya telah terbaring seorang pemuda tampan.
Ia memekik sekuat-kuatnya. Para pengawal istana segera berhamburan. Putri bungsu berlari sembari meminta tolong agar orang asing di dalam kamarnya segera diusir.
Para pengawal segera memeriksa seluruh isi kamar, namun yang mereka dapatkan hanya seekor biawak.
“Ah, masak aku Cuma bermimpi...? ujar putri bungsu setelah mendengar laporan penjaga istana.
Karena dianggap sudah aman para penjaga pun mohon diri. Putri bungsu menjadi terheran-heran. Ia yakin tidak sedang bermimpi. Ia betul-betul bangun dari tidurnya, tapi ke mana perginya pemuda tampan itu.
Dimalam ketiga putri bungsu sengaja tidak tidur. Siang harinya ia sudah tidur sepuasnya. Malam ini ia akan menjebak si pemuda tampan. Ia akan berpura-pura tertidur lelap. Nah benar saja, tidak lama setelah itu ada suara mendesis di sampingnya, kemudian terasa ada benda berat merebahkan diri di sampingnya. Putri bungsu segera membalik. Benar saja, pemuda asing yang dua malam berturut-turut hadir di kamarnya kini malah makin berani mendekatinya.
Dengan mata beringas putri bungsu membentak, “hai lelaki asing! Sungguh kau tak tahu malu, berani masuk ke kamar orang. Walau suamiku seekor binatang ia jauh lebih baik dibanding kau yang tidak tahu tatakrama!”
Habis memaki-maki tiba-tiba putri bungsu menghunus pisau yang sejak tadi disiapkan di bawah kasur. Ia mencoba menyerang si pemuda. Namun dengan mudahnya si pemuda menangkis dan pisau itu terlempar ke lantai. Kini sang putri malah berada di dalam rangkulan ketat si pemuda tampan.
“Sabar istriku, aku sebenarnya adalah biawak suamimu sendiri. Tadinya aku seorang manusia biasa, namun karena sesuatu hal aku dikutuk dewa sehingga menjadi seekor biawak.”
Putri bungsu mengangguk-angguk ketika mendengar penuturan, ketika rangkulan si pemuda dilepaskan, putri bungsu segera melompat ke sudut kamar, di sana ia menemukan kulit biawak. Sarungan yang biasa dimasuki suaminya itu segera dibawa ke luar istana, lau dibakar sampai hangus musnah. Lalu kembali lagi ke kamarnya lagi. Di sana ia mendapati perjaka tampan yang lagi gerah, karena sarungan yang biasanya ia pakai kini hangus terbakar, selanjutnya ia pulih seperti sedia kala dengan ketampanan yang tiada tara.
Keajaiban itu membuat iri keenam saudarnya. Hampir bersamaan keenam saudaranya itu meminta suami masing-masing untuk berdagang ke negeri yang jauh. Lalu keenam saudaranya itu memelihara seekor biawak liar di dalam kamarnya. Mereka berharap ada kejadian serupa yang dialami adiknya.
Tapi apa yang terjadi? Dimalam pertama mereka sudah menjerit-jerit kesakitan karena tubuhnya dicakari dan digigit oleh biawak liar. Akhirnya biawak-biawak itu mereka buang ke sungai.
Esok harinya mereka bersama-sama menemui adik mereka tercinta yaitu putri bungsu. Mereka merangkul adiknya itu dengan penuh rasa haru. Mereka sadar bahwa adiknya itu bersuamikan biawak bukan karena keinginan sendiri melainkan demi berbakti dan menjaga kehormatan ayahandanya. Niat tulus itu akhirnya membuahkan nasib yang baik dan membahagiakan putri bungsu.
(Sumber: Kumpulan Cerita Rakyat Disertai Rangkuman Sejarah Nasional Indonesia, Pengarang Emha Yudhistira, Penerbit Mulia Jaya Surabaya)

0 komentar:

Posting Komentar