PANGERAN BIAWAK
(CERITA
RAKYAT DARI KALIMANTAN SELATAN)
Dahulu di pedalaman Kalimantan ada sebuah
kerajaan. Rakyat kerajaan itu hidup dengan kemakmuran yang melimpah, tentram
dan damai karena kerajaan itu diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.
Raja mempunyai tujuh orang putri. Semuanya
belum bersuami. Lalu raja mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membangun
istana megah di seberang sungai maka merekalah yang akan beroleh kesempatan
menjadi menantunya. Pengumuman pun disebar ke pelosok negeri. Hasilnya luar
biasa. Ada enam orang pemuda yang menyanggupi permintaan raja. Keenam
pemuda itu bekerja keras siang dan malam, hasilnya luar biasa. Dalam tempo yang
tidak terlalu lama berdirilah sebuah istana yang megah di seberang sungai,
lengkap dengan isinya dan tanah lapang yang mengelilinginya.
Karena istana tersebut berada di seberang sungai maka raja
meminta supaya dibangun sebuah jembatan besar dan megah agar orang yang hendak
menuju istana tidak usah menggunakan perahu. Cukup berjalan kaki saja. Dan
pekerjaan membuat jembatan itu harus selesai dalam waktu satu malam.
Para petugas kerajaan diperintah menyebarkan sayembara itu ke
seluruh pelosok kerajaan. Namun sungguh aneh sudah berhari-hari bahkan
berminggu-minggu belum ada seorang pun yang menyatakan sanggup mengikuti
sayembara itu.
Raja menjadi kecewa. Ia mengumpulkan para pejabat kerajaan.
Berkatalah sang raja, “Apakah sudah habis orang sakti di kerajaan ini, sehingga
tak ada yang berani mengikuti sayembara ini?”
Tiba-tiba entah darimana datangnya ada seorang nenek tua dan
seekor biawak hadir di ruang persidangan.
“Hamba meminang putri paduka untuk anak hamba.”
“Apa?” teriak sang raja kaget.
“Benar paduka, biarpun kami berasal dari keluarga miskin kami
sanggup mengikuti sayembara itu?” kata perempuan tua itu dengan mantap.
“Oh, ya tidak masalah.” Kata
raja. “Sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Kaya miskin, tampan jelek
tidak masalah, kami tidak memandang rupa.”
“Benarkah paduka tidak memandang rupa?”
“Benar ucapanku adalah jaminan. Pantang
bagi raja menjilat ludah sendiri.” Sang raja menegaskan.” Tetapi perlu kau
ingat, jika anakmu gagal maka kalian berdua akan mendpat hukuman pancung!”
“Nah, anakku, kau sudah mendengar sendiri
perkataan paduka raja.” Ujar si nenek tua kepada sang biawak yang
mengibas-ngibaskan ekornya.
Tak disangka biawak yang diajak bicara oleh
si nenek tua bisa menjawab, “jangan kuatir ibu... saya sanggup menyelesaikan
jembatan itu kurang dari satu malam.”
Semua orang yang berada di ruang
persidangan menjadi kaget. Tidak disangka jika anak yang dimaksud perempuan tua
itu tak lain adalah biawak yang dibawanya sendiri. Tadinya mereka menyangka
anak perempuan tua itu tinggal di rumah.
Sebelum situasi berubah menjadi tidak
menguntungkan maka si nenek tua tua cepat-cepat berkata, “Nah baginda sudah
mendengar sendiri kesanggupan anak hamba. Sekarang hamba berdua mohon diri.”
Sepeninggal nenek tua dan biawaknya raja
memanggil tujuh putrinya untuk diajak bermusyawarah. Masing-masing ditanya
siapakah yang bersedia dipinang oleh si biawak. Enam putri menolak
mentah-mentah. Tinggal seorang yang belum menjawab yaitu si putri bungsu.
Kini sang ibu (permaisuri) meminta
ketegasan si putri bungsu. “Bagaimana menurut pendapatmu, nak?”
“Ucapan raja pantang ditarik kembali. Demi
kehormatan ayahanda selaku raja negeri ini, saya sanggup menerima pinangan
biawak itu.”
Permaisuri langsung jatuh pingsan mendengar jawaban putrinya
yang diucapkan dengan mantab dan tegas. Sementara keenam saudaranya merasa
terheran-heran.
Esok harinya semua orang terkejut. Ternyata sang biawak menepati
janjinya. Ia mampu membuatkan jembatan hanya dalam tempo kurang dari satu
malam.
Raja menepati janjinya pula, tujuh orang putrinya yang
cantik-cantik itu disandingkan di pelaminan. Keenam pasangan pengantin baru itu
semuanya Nampak serasi. Hanya satu yang aneh, yaitu putri bungsu yang berwajah
paling cantik itu justru bersanding dengan seekor biawak.
Saat malam tiba, di peraduan keenam
mempelai sama bercanda dengan pasangan masing-masing. Namun di kamar putri
bungsu tidak terdengar canda ria. Ketika malam semakin larut putri bungsu
semakin mengantuk, biawak yang menjadi suaminya ditinggal begitu saja di sudut
kamar. Ia segera tertidur pulas. Namun ditengah malam ketika ia terjaga, ia
kaget bukan kepalang. Di sampingnya telah terbaring seorang pemuda tampan.
Ia memekik sekuat-kuatnya. Para pengawal
istana segera berhamburan. Putri bungsu berlari sembari meminta tolong agar
orang asing di dalam kamarnya segera diusir.
Para pengawal segera memeriksa seluruh isi
kamar, namun yang mereka dapatkan hanya seekor biawak.
“Ah, masak aku Cuma bermimpi...? ujar putri
bungsu setelah mendengar laporan penjaga istana.
Karena dianggap sudah aman para penjaga pun
mohon diri. Putri bungsu menjadi terheran-heran. Ia yakin tidak sedang bermimpi.
Ia betul-betul bangun dari tidurnya, tapi ke mana perginya pemuda tampan itu.
Dimalam ketiga putri bungsu sengaja tidak
tidur. Siang harinya ia sudah tidur sepuasnya. Malam ini ia akan menjebak si
pemuda tampan. Ia akan berpura-pura tertidur lelap. Nah benar saja, tidak lama
setelah itu ada suara mendesis di sampingnya, kemudian terasa ada benda berat
merebahkan diri di sampingnya. Putri bungsu segera membalik. Benar saja, pemuda
asing yang dua malam berturut-turut hadir di kamarnya kini malah makin berani
mendekatinya.
Dengan mata beringas putri bungsu membentak, “hai lelaki asing!
Sungguh kau tak tahu malu, berani masuk ke kamar orang. Walau suamiku seekor
binatang ia jauh lebih baik dibanding kau yang tidak tahu tatakrama!”
Habis memaki-maki tiba-tiba putri bungsu menghunus pisau yang
sejak tadi disiapkan di bawah kasur. Ia mencoba menyerang si pemuda. Namun
dengan mudahnya si pemuda menangkis dan pisau itu terlempar ke lantai. Kini
sang putri malah berada di dalam rangkulan ketat si pemuda tampan.
“Sabar istriku, aku sebenarnya adalah biawak suamimu sendiri.
Tadinya aku seorang manusia biasa, namun karena sesuatu hal aku dikutuk dewa
sehingga menjadi seekor biawak.”
Putri bungsu mengangguk-angguk ketika mendengar penuturan,
ketika rangkulan si pemuda dilepaskan, putri bungsu segera melompat ke sudut
kamar, di sana ia menemukan kulit biawak. Sarungan yang biasa dimasuki suaminya
itu segera dibawa ke luar istana, lau dibakar sampai hangus musnah. Lalu
kembali lagi ke kamarnya lagi. Di sana ia mendapati perjaka tampan yang lagi
gerah, karena sarungan yang biasanya ia pakai kini hangus terbakar, selanjutnya
ia pulih seperti sedia kala dengan ketampanan yang tiada tara.
Keajaiban itu membuat iri keenam saudarnya. Hampir bersamaan
keenam saudaranya itu meminta suami masing-masing untuk berdagang ke negeri
yang jauh. Lalu keenam saudaranya itu memelihara seekor biawak liar di dalam
kamarnya. Mereka berharap ada kejadian serupa yang dialami adiknya.
Tapi apa yang terjadi? Dimalam pertama mereka sudah menjerit-jerit
kesakitan karena tubuhnya dicakari dan digigit oleh biawak liar. Akhirnya
biawak-biawak itu mereka buang ke sungai.
Esok harinya mereka bersama-sama menemui adik mereka tercinta
yaitu putri bungsu. Mereka merangkul adiknya itu dengan penuh rasa haru. Mereka
sadar bahwa adiknya itu bersuamikan biawak bukan karena keinginan sendiri
melainkan demi berbakti dan menjaga kehormatan ayahandanya. Niat tulus itu
akhirnya membuahkan nasib yang baik dan membahagiakan putri bungsu.
(Sumber: Kumpulan
Cerita Rakyat Disertai Rangkuman Sejarah Nasional Indonesia, Pengarang Emha
Yudhistira, Penerbit Mulia Jaya Surabaya)
0 komentar:
Posting Komentar